Jakarta - Kementerian Kesehatan telah mengidentifikasi kredit mikro sebagai cara yang efektif untuk mendukung akses masyarakat miskin terhadap air minum dan sanitasi. Saat ini terdapat sejumlah organisasi yang menyediakan pembiayaan mikro untuk air minum dan sanitasi. Anas Maruf, Direktur Kesehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan, mengatakan dalam sebuah pernyataan yang diterima di Jakarta, Sabtu: "Kami berharap ini akan menjadi contoh bagi organisasi lain untuk bersama-sama mendukung akses air minum dan sanitasi bagi masyarakat. Anas mengatakan bahwa ada kebutuhan untuk terus mengembangkan kredit mikro untuk menghilangkan kesenjangan sehingga semua orang memiliki akses terhadap air minum dan sanitasi. Air minum dan sanitasi merupakan aspek penting dalam penyehatan lingkungan, ujarnya, serta upaya pencegahan penyakit, yang merupakan salah satu dari enam pilar transformasi kesehatan untuk mencapai Indonesia Emas di tahun 2045. Anas mengatakan bahwa target utama dari kredit mikro ini adalah masyarakat kecil dan menengah yang belum memiliki akses terhadap fasilitas air minum dan sanitasi.

Dia menjelaskan bahwa mereka memberikan kredit mikro melalui berbagai jenis saluran lembaga keuangan, seperti BPR, koperasi, ventura dan BPD, dengan jumlah rata-rata Rp2,1 juta per pinjaman. Menurut Anas, kredit mikro merupakan salah satu alternatif pembiayaan yang terus berkembang untuk mendukung pembangunan air minum dan sanitasi di Indonesia.

Selain pinjaman dari lembaga keuangan, pembiayaan alternatif untuk air minum dan sanitasi juga telah dikembangkan melalui dana ZIS (Zakat, Infak, Sedekah) dan program-program tanggung jawab sosial perusahaan.

Pola pembiayaan alternatif ini mencakup berbagai sektor, termasuk rumah tangga, kontraktor, pengembang, dan UKM yang menyediakan layanan air minum dan sanitasi.

Hal ini disampaikannya dalam sebuah diskusi bertajuk Solusi Pembiayaan Alternatif dan Kemitraan untuk Air Minum dan Sanitasi yang Aman di Indonesia di Jakarta, Jumat (22/3).

Ia mengutip data dari Bappenas yang menyatakan bahwa dana yang dibutuhkan untuk mencapai 100% akses air minum adalah sebesar Rp 1.651 triliun. Menurut laporan tersebut, pemerintah berharap untuk mencapai hanya 45% akses air minum yang aman hingga tahun 2030, yang berarti akan membutuhkan dana sebesar Rp 367 triliun. Kebutuhan sebesar itu, katanya, akan sulit ditangani sendiri oleh pemerintah melalui APBN dan membutuhkan kerja sama dengan semua pemangku kepentingan melalui skema pembiayaan alternatif, baik keuangan maupun non-keuangan, yang sudah mulai berkembang. Pada kesempatan yang sama, Cannan Nadal, Chief of Wash UNICEF Indonesia, mengatakan bahwa dibutuhkan dana sebesar USD 45 miliar hingga tahun 2030 untuk merealisasikan target-target rencana SDG 6 yang telah ditetapkan Pemerintah Indonesia.

Beliau mengatakan bahwa kesenjangan pendanaan berdasarkan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) saat ini adalah sekitar Rp 113 triliun untuk air dan sanitasi.

Canaan menilai bahwa pendekatan bisnis seperti biasa tidak akan menyelesaikan kesenjangan pendanaan yang besar ini.

"Pembiayaan alternatif, termasuk kredit mikro, pinjaman bank, memobilisasi dana sosial Islam, dan menarik pemain non-tradisional adalah kuncinya. Indonesia sudah memiliki beberapa contoh yang baik dalam hal ini. Lebih dari 840.000 pinjaman dengan total 1,9 triliun Rupee telah membantu 4,3 juta orang (91% perempuan) meningkatkan akses mereka terhadap air bersih dan sanitasi," kata Canan.