JAKARTA - Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hast Waldoyo, memaparkan hasil survei pemaknaan stunting yang dilakukan di 31 provinsi, dimana 98,3% menyatakan stunting berbahaya bagi kesehatan anak.

"Dalam survei pemaknaan stunting yang dilakukan di 31 provinsi dengan 1.676 responden, sebanyak 89% responden sangat tidak setuju bahwa stunting adalah hoax dan 98,3% responden menyatakan stunting berbahaya bagi kesehatan anak," kata Hast dalam keterangannya di Jakarta, Senin. Namun, lima dari sepuluh responden (50%) tidak percaya bahwa stunting menghambat kognisi anak.

"Interpretasi dasar dari stuntingmemiliki perspektif penghalangyang kami temukan sangat berbanding terbalik dengan bukti medis ilmiah," katanya. Menurut Hast, hal ini menjadi tantangan bagi para pemangku kepentingan untuk mengedukasi masyarakat tentang stunting. "Perlu ada partisipasi aktif dari seluruh pemangku kepentingan, baik di tingkat daerah maupun nasional. Pembahasan terkait Program Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKBPK) tetap menjadi prioritas yang difokuskan pada aplikasi dan implementasi di tingkat kabupaten dan kota," katanya. Menurut dia, untuk memastikan keberhasilan program percepatan penurunan stunting, diperlukan kerja sama yang erat antara pemerintah pusat dan daerah serta berbagai pemangku kepentingan. "Kerja sama lintas sektoral penting untuk mengatasi tantangan kesehatan yang kompleks dan pendekatan terpadu yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan sektor swasta, diperlukan untuk mencapai hasil yang optimal dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Beliau berharap berbagai kolaborasi lintas sektoral yang telah dilaksanakan dapat memberikan perbedaan yang signifikan dalam meningkatkan kualitas hidup dan kesehatan masyarakat Indonesia dalam rangka mencapai Indonesia Emas 2045. Sementara itu, Dr Sukaryo Tegu Santoso, Deputi Bidang Advokasi, Penggerakan dan Informasi BKKBN, mengatakan bahwa semua kebijakan pembangunan keluarga dapat mendukung pembangunan berkelanjutan. Semua upaya kami akan terus berfokus pada pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, yang dapat memperkuat implementasi kebijakan dan program strategis, kata Tegu.

Selain itu, lanjutnya, penting juga untuk melakukan pendekatan advokasi dan kemitraan yang baik, termasuk strategi pemetaan isu-isu kunci, pengembangan alat advokasi yang dapat diterima dan memastikan kemitraan yang kuat dengan lembaga-lembaga terkait. "Dengan demikian, output yang dihasilkan dapat menjadi landasan yang kuat bagi upaya bersama untuk meningkatkan kualitas komunikasi dan pemanfaatan data dalam mendukung pembangunan keluarga di Indonesia," jelasnya.